80 Tahun Kemerdekaan, Mengapa UU Kehutanan Masih Jadi Kendala?

KOALISI Masyarakat Sipil Advokasi UU Kehutanan menggunakan momentum peringatan Hari KemerdekaanPerayaan Hari Kemerdekaan ke-80 menuntut agar Panitia Kerja Undang-Undang Kehutanan lebih transparan dalam proses perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Proses konsultasi yang tidak terbuka bagi masyarakat luas dan bertentangan dengan prinsip partisipasi yang bermakna menyebabkan rencana revisi tersebut memperkuat praktik hukum kolonial yang salah dalam memahami Hak Menguasai Negara.

Setelah dimasukkan dalam Prolegnas Prioritas 2024-2029, proses konsultasi terkait revisi UU Kehutanan telah dilakukan sebanyak tiga kali, namun dua di antaranya diselenggarakan secara tertutup tanpa dokumentasi yang tersedia untuk umum, bahkan tidak ada rekaman yang diunggah ke saluran YouTube parlemen. Koalisi mengatakan masyarakat tidak mengetahui apa saja yang dibahas oleh Komisi IV dengan asosiasi pengusaha. Dokumen rancangan undang-undang juga tidak dipublikasikan, sementara forum yang melibatkan masyarakat sipil sangat terbatas.

“Proses legislasi ini jauh dari prinsip transparansi,” ujar juru bicara koalisi dari Indonesia Parliamentary Center, Arif Adi Putro, dalam keterangan tertulis yang disebarkan pada hari Minggu, 17 Agustus 2025. Ia menegaskan, koalisi menolak pengesahan revisi UU Kehutanan tanpa partisipasi masyarakat, mengingat risikonya rakyat dan komunitas adat bisa kehilangan kebun, rumah, serta hutan mereka yang secara sepihak dianggap sebagai wilayah hutan negara.

Rendi Oman Gara dari Perkumpulan HuMa juga menyampaikan keraguan mengenai apakah bangsa Indonesia benar-benar bebas dari penjajahan pada usia kemerdekaan yang ke-80 tahun ini. Menurutnya, masalah struktural di sektor kehutanan masih menjadi kendala. Ia menyebutkan bahwa hutan sebagai sumber daya bersama justru dikuasai oleh negara dan pihak swasta melalui lembaga yang mengendalikan pohon dan tenaga kerja.

Menurutnya, isu agraria ini telah berlangsung sejak masa penjajahan kolonial dan masih berlanjut hingga saat ini. “Penjajahan terhadap rakyat dimulai ketika kolonial mengambil hutan sebagai sumber agraria untuk dieksploitasi, dengan menetapkan bahwa hutan sepenuhnya menjadi milik negara,” ujar Rendi.

Rendi menjelaskan, sistem hukum kolonial Belanda berlandaskan teori Raffles: seluruh wilayah kepunyaan raja, kemudian berpindah kepada negara kolonial, sehingga negara menjadisuper-landlordyang berhak menguasai lahan serta memungut pajak tanah (landrente). Akibatnya, seluruh lahan tanpa buktieigendom dianggap sebagai landsdomein, sehingga penduduk dapat dikeluarkan, dikriminalisasi, dan hukum adat diabaikan.

Model penjajahan ini, menurut Rendi, masih tampak ketika negara mengklaim kawasan hutan sebagai milik pemerintah. Padahal, menurutnya, Pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa hak menguasai negara hanya merupakan mandat dari rakyat, sehingga Hak Menguasai Negara tidak boleh melebihi ‘hak bangsa’.

Kekuasaan modern terlihat ketika penduduk dilarang tinggal di wilayah hutan,” katanya. “Oleh karena itu, UU Kehutanan perlu direvisi secara mendasar karena tidak berhasil mencapai tujuan pembangunan yang sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria, Dewi Kartika, mengatakan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 menegaskan bahwa negara bukan pemilik tanah dan kekayaan alam, tetapi bertindak sebagai pengatur untuk kesejahteraan rakyat. Dalam perannya tersebut, negara memiliki lima fungsi utama: menyusun kebijakan, mengatur, mengelola izin, mengelola, serta mengawasi.

Undang-undang Kehutanan yang berlaku saat ini, menurut Dewi, menyimpang dari mandat tersebut. Menurutnya, negara bertindak seakan-akan menjadi pemilik tunggal hutan dengan memberikan izin, lisensi, dan konsesi besar kepada perusahaan, sehingga masyarakat tergusur dari tanah dan sumber penghidupannya. “Selama 26 tahun penerapan, Undang-undang Kehutanan gagal membebaskan rakyat, justru memperparah kesengsaraan dengan mengucilkan mereka dari tanah sebagai sumber kehidupan,” ujarnya dengan tegas.

UU Kehutanan yang masih mewarisi pola kolonial dan membatasi kebebasan rakyat juga diungkap oleh Tsabit Khairul Auni, anggota kampanye Forest Watch Indonesia (FWI). Konsep HMN dalam Pasal 4 dianggap sebagai hak kepemilikan penuh negara, mirip dengan asasdomein verklaringmasa penjajahan Belanda yang mengambil tanah penduduk.

Data FWI 2025 menunjukkan bahwa 65,26 persen daratan dan perairan Indonesia dinyatakan sebagai kawasan hutan negara. Proses penunjukan hingga pengesahannya dinilai tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Di sisi lain, hutan terus berkurang dengan rata-ratadeforestasi2.01 juta hektar per tahun (selama periode 2017 hingga 2023).

“Tekanan semakin meningkat, kerentanan dan bencana lingkungan semakin bertambah, sementara hak dan akses masyarakat tetap diabaikan. Semua hal ini menunjukkan bahwa tata kelola hutan gagal memberikan kemerdekaan bagi rakyat,” ujar Tsabit.

Menurut FWI, fakta ini memperkuat bahwa UU Kehutanan gagal dalam melindungi hutan alam yang tersisa. Padahal, dalam pertimbangannya, UU ini dibuat untuk menjaga hutan sebagai dasar kehidupan dan sumber kesejahteraan rakyat. “Faktanya, deforestasi dan kebakaran hutan serta lahan terus berlangsung dalam skala besar.”

Peneliti MADANI Berkelanjutan Sadam Afian Richwanudin menyatakan bahwa pada tahun 2024, terjadi kehilangan hutan seluas 216 ribu hektare, sementarakarhutlaSampai pertengahan tahun, telah terbakar 115 ribu hektare hutan, termasuk lahan gambut. Akibatnya, masyarakat sekitar hutan kehilangan hak atas lingkungan yang baik dan sehat sesuai yang dijamin oleh konstitusi.

Leave a Comment