JAKARTA KOTA– Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut guru sebagai beban negara ternyata disebarkan melalui Deepfake.
Sri Mulyani telah menyangkalnya. Ia tidak pernah mengatakan hal itu. Fitnah yang sangat berat karena menyebut guru beban negara tentu saja ‘tidak sopan’.
Teknologi deepfake memungkinkan pengeditan media audio dan video yang sangat menyerupai aslinya, sehingga sulit dibedakan dengan yang asli.
Meskipun memiliki potensi yang baik, misalnya di sektor hiburan, terdapat beberapa risiko berat yang harus diperhatikan dari Deepfake.
Dalam unggahan di Instagram, potongan video Sri Mulyani tampaknya menyatakan bahwa guru merupakan beban negara, yang merupakan HOAX.
“Faktanya, saya tidak pernah mengatakan bahwa Guru merupakan Beban Negara,” demikian penyangkalan tegas Sri Mulyani.
Video yang beredar telah diverifikasi sebagai hasil pembuatan deepfake oleh pihak yang tidak bertanggung jawab yang menyebarkan informasi palsu.
“Video tersebut merupakan hasil deepfake dan potongan-potongan tidak lengkap dari pidato saya dalam Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia di ITB pada 7 Agustus lalu,” kata Sri Mulyani.
Melalui peristiwa ini, Sri Mulyani mengajak masyarakat pengguna media sosial untuk lebih cerdas. Bahwa fitnah dan penyebaran kebohongan dapat muncul secara besar-besaran melalui teknologi media sosial.
“Kita harus cerdas dalam menggunakan media sosial,” kata menteri tersebut.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Deni Surjantoro menyatakan bahwa video ‘guru beban negara’ merupakan potongan yang tidak lengkap dari pidato asli Sri Mulyani.
“Kenyataannya, Menteri Keuangan tidak pernah mengatakan bahwa Guru merupakan Beban Negara,” tegasnya.
Mengacu pada kasus Deepfake Menteri Sri Mulyani, terdapat beberapa ancaman serius yang perlu diwaspadai masyarakat agar tidak berkembang menjadi fitnah yang sangat besar.
Pertama, Deepfake dapat digunakan sebagai alat penyebaran misinformasi dan disinformasi. Ini merupakan ancaman yang paling jelas.
Teknologi deepfake mampu menciptakan video yang menampilkan tokoh politik atau publik yang berbicara tentang hal-hal yang tidak pernah mereka ucapkan, risiko yang dapat memicu keributan, memengaruhi hasil pemilihan umum, atau merusak reputasi jangka panjang.
Kedua, kejahatan dan penipuan finansial. Teknologi ini memungkinkan pelaku kejahatan untuk meniru identitas seseorang secara sangat meyakinkan, sehingga tindakan penipuan seperti phishing, penipuan investasi, dan pencurian identitas menjadi jauh lebih berbahaya.
Ketiga, Deepfake digunakan untuk merusak reputasi dan melakukan pelecehan. Teknologi ini sering dimanipulasi untuk menghasilkan materi eksplisit yang tidak diinginkan, yang menargetkan seseorang, khususnya perempuan.
Keempat, mengikis kepercayaan masyarakat. Semakin berkembangnya teknologi deepfake, membuat orang semakin kesulitan membedakan antara yang asli dan yang palsu.
Seperti yang terjadi dalam kasus Deepfake Sri Mulyani, hal ini mengikis kepercayaan terhadap media, berita, bahkan kesaksian saksi, menciptakan suasana di mana “kebenaran” menjadi sesuatu yang bersifat relatif. (*)