10drama.com –Indonesia, yang memiliki populasi lebih dari 270 juta orang dan tingkat penyebaran smartphone yang semakin meningkat, justru menunjukkan laju penerimaan 5G yang relatif rendah.
Berdasarkan laporan terbaru Laporan Mobile Economy APAC 2025 oleh GSMAhingga akhir tahun 2024, hanya sekitar 4% koneksi seluler di Indonesia yang telah mengakses jaringan 5G.
Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Korea Selatan, Australia, dan Singapura yang telah mencatatkan tingkat penggunaan di atas 50%.
Meskipun infrastruktur 4G telah mencakup sebagian besar wilayah Indonesia dengan tingkat penetrasi sebesar 91%, peralihan menuju teknologi 5G masih menghadapi hambatan.
Keadaan ini menunjukkan sebuah kontradiksi dalam lingkungan digital nasional: jaringan telah tersedia, namun penggunaannya oleh masyarakat belum maksimal.
Mengapa 5G Belum Dilirik?
Laporan GSMA menemukan beberapa hal yang menjadi hambatan utama dalam mempercepat penerapan 5G di Indonesia.
Salah satunya adalah harga perangkat 5G yang masih tinggi dan belum terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Selain itu, rendahnya tingkat pemahaman digital menyebabkan banyak pengguna belum menyadari manfaat serta relevansi teknologi 5G dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah lainnya adalah kurangnya contoh penerapan nyata atau “use case” yang secara langsung memberikan manfaat terasa bagi masyarakat luas.
Terakhir, faktor regulasi juga berpengaruh, di mana kebijakan spektrum saat ini dinilai masih kurang mendukung investasi dan pengembangan jaringan yang lebih agresif.
“Indonesia memiliki infrastruktur seluler yang sudah cukup berkembang, tetapi tanpa adanya strategi insentif dan edukasi yang memadai, penyebaran 5G akan terhambat,” tulis GSMA dalam laporan tersebut.
Cahaya dari Wilayah Industri dan Kreativitas Lokal
Meskipun penyebaran di tingkat konsumen masih lambat, tanda-tanda positif muncul dari sektor industri.
Salah satu contoh kasus menarik adalah kolaborasi antara Telkomsel dan Pegatron di Batam yang menggunakan jaringan 5G untuk mengotomatisasi pabrik berbasis AI dan IoT.
Tindakan ini menunjukkan bahwa 5G justru lebih dahulu mengenai sektor B2B dan manufaktur, bukan pasar konsumen.
Jika pemerintah dan pelaku industri mampu memperluas inisiatif serupa ke berbagai bidang, dampak domino terhadap peningkatan penggunaan 5G di tingkat nasional dapat segera terwujud.
Proyeksi Masa Depan
GSMA memprediksi bahwa penggunaan 5G di Indonesia akan mencapai 32% pada tahun 2030.
Namun, proyeksi ini hanya dapat tercapai apabila dilakukan sejumlah langkah strategis.
Di antaranya adalah pemberian izin spektrum yang lebih luas dan dengan biaya yang lebih murah agar para operator lebih termotivasi untuk melakukan investasi.
Selain itu, diperlukan insentif pajak untuk pemasok perangkat dan penyedia infrastruktur agar ekosistem digital dapat berkembang lebih cepat.
Penting untuk meningkatkan pemahaman digital hingga ke lapisan masyarakat paling bawah agar manfaat dari teknologi bisa dirasakan secara lebih luas.
Selain itu, kerja sama antara regulator, operator, serta pelaku bisnis menjadi kunci untuk mengembangkan berbagai kasus penggunaan lokal yang sesuai dan mempercepat penerimaan teknologi.
Angka 4% mungkin terlihat kecil, namun justru di sinilah peluangnya berada.
Dengan potensi pasar yang besar, perkembangan penggunaan 5G di Indonesia dapat menjadi langkah signifikan dalam transformasi digital nasional—jika didukung dengan strategi yang tepat.
Saat ini, Indonesia harus beralih dari tahap “siap” menuju tahap “bergerak” dalam menghadapi era keterhubungan di masa depan.
Karena 5G bukan hanya tentang kecepatan, tetapi juga membentuk masa depan yang lebih saling terhubung, efisien, dan inklusif.
(*)