Elon Musk, CEO Tesla dan CEONvidia Jensen Huangmemilih mempelajari ilmu fisika dibandingkan membuat kode komputer atau coding di tengah perkembangan AI. Apa alasannya?
Pemilik Tesla dan SpaceX, Elon Musk, telah lama mengadvokasi ilmu fisika sebagai dasar dari semua penyelesaian masalah yang penting.
“Fisika dan Matematika,” ujar Elon Musk merespons unggahan CEO Telegram Pavel Durov di X, yang mengajak siswa untuk menguasai matematika, dilaporkan oleh MoneyControl, Sabtu (25/7).
Elon Musk secara terus-menerus menyatakan bahwa memahami prinsip-prinsip dasar, kebenaran mendasar yang berasal dari fisika, merupakan kunci dalam menciptakan inovasi yang dapat diukur.
Dukungan Elon Musk terhadap ilmu fisika sejalan dengan proyek-proyek yang ia jalankan dalam dunia nyata. Mulai dari roket hingga kendaraan otonom, tantangan yang ia hadapi memerlukan pemahaman fisika yang jauh melebihi logika perangkat lunak.
Seperti juga dengan CEO Nvidia, Jensen Huang. Ketika ditanya oleh jurnalis tentang jurusan apa yang akan dia pilih, jika saat ini masih berusia 20 tahun.
“Untuk Jensen Huang yang masih muda, berusia 20 tahun, yang saat ini lulus, dia mungkin akan memilih ilmu fisika daripada perangkat lunak atau software,” kata CEO Nvidia saat melakukan perjalanan ke Beijing, Tiongkok, dilaporkan oleh The Economic Times, Selasa (22/7).
Jensen Huang lulus kuliah saat berusia 20 tahun. Pemilik perusahaan termahal di dunia ini meraih gelar sarjana teknik elektro dari Oregon State University pada tahun 1984 dan gelar magister dari Stanford University pada 1992, seperti tercantum dalam profil LinkedIn-nya.
Ia membangun Nvidia bersama rekannya, Chris Malachowsky dan Curtis Priem, pada April 1993, saat sedang makan malam di restoran Denny’s di San Jose, California. Saat ini, Nvidia menjadi perusahaan pertama di dunia yang mencapai nilai pasar sebesar 4 triliun dolar AS.
Jensen Huang pernah menyampaikan bahwa, dalam satu setengah dekade terakhir, dunia telah melewati berbagai tahap perkembangan kecerdasan buatan. “AI modern benar-benar muncul sekitar 12 hingga 14 tahun lalu, ketika munculnya AlexNet yang membawa terobosan besar dalam bidang visi komputer,” kata CEO Nvidia dalam forum The Hill & Valley di Washington DC, Amerika Serikat, pada bulan April, seperti dilansir oleh CNBC Internasional.
AlexNet merupakan model komputer yang diperkenalkan dalam kompetisi pada tahun 2012, yang membuktikan kemampuan mesin dalam mengidentifikasi gambar melalui pembelajaran mesin atau machine learning. Perkembangan ini memicu munculnya tren AI masa kini.
“Generasi pertama dikenal sebagai ‘AI Persepsi’,” ujar Jensen Huang. Masa kedua yaitu AI generatif seperti ChatGPT, yang belajar memahami makna data dan menerjemahkannya ke dalam berbagai bentuk seperti bahasa, gambar, kode, dan lainnya.
“Kita kini berada di masa yang dikenal sebagai ‘AI Penalaran’ di mana terdapat AI yang mampu memahami, menghasilkan, dan menyelesaikan masalah, serta mengenali situasi yang belum pernah kita temui sebelumnya,” katanya. AI pada bentuk saat ini dapat menyelesaikan permasalahan dengan menggunakan kemampuan penalaran.
“AI penalaran memungkinkan kita menciptakan bentuk robot digital. Kami menyebutnya Agen AI,” tambah Huang. Agen AI ini pada dasarnya merupakan robot tenaga kerja digital yang mampu berpikir secara logis.
Saat ini, agen AI menjadi perhatian utama berbagai perusahaan teknologi, seperti Microsoft dan Salesforce.
Jensen Huang memprediksi gelombang berikutnya yaitu AI fisik. “Gelombang berikutnya memerlukan pemahaman tentang hal-hal seperti hukum fisika, gesekan, inersia, serta sebab dan akibat,” ujar Jensen Huang.
Kemampuan berpikir fisik, seperti konsep kekekalan benda, atau fakta bahwa benda tetap ada meskipun tidak terlihat, akan menjadi hal yang penting dalam tahap kecerdasan buatan berikutnya, katanya.
Penerapan pemikiran fisika mencakup memperkirakan hasil, seperti di mana bola akan meluncur, memahami seberapa besar gaya yang diperlukan untuk menggenggam suatu benda tanpa merusaknya, serta menyimpulkan keberadaan pejalan kaki di belakang kendaraan.
Dan ketika Anda mengambil AI fisik tersebut lalu memasukkannya ke dalam objek nyata yang disebut robot, maka Anda mendapatkan robotika,” tambah Huang. “Ini sangat penting bagi kami saat ini, karena kami sedang membangun pabrik di seluruh Amerika Serikat.
“Harapan kami, dalam 10 tahun ke depan, seiring kita membangun pabrik dan pabrik generasi baru ini, semuanya akan sangat otomatis dan membantu kita mengatasi krisis tenaga kerja yang parah di seluruh dunia,” kata Huang.
Saran yang diberikan oleh Jensen Huang dan Elon Musk mencerminkan perubahan dalam pola pikir yang lebih luas. Meskipun pemrograman tetap menjadi keterampilan yang penting, para pemimpin ini menyarankan kembali kepada dasar ilmiah yang mendorong inovasi di dunia nyata.
Teknologi AI dan robotika dianggap sebagai masa depan kerja sama antara manusia dan mesin, serta keberhasilan dalam bidang ini lebih didasarkan pada pemahaman tentang cara berfungsinya dunia, bukan hanya pada kemampuan pemrograman.